Wednesday, June 07, 2006

senyumku itu kebohongan

kutatap matamu ... erat ... dekat ... melekat ... closer to your black round inside your eyes. kucoba mencari dan menggali kata bahagia itu dari dalam jiwamu [melalui bulatan hitam itu]. kucoba memberi kesan menutupi kebohonganku, karena kutau ... [katanya] berbicara dengan menatap mata lawan bicaranya itu merupakan suatu kebenaran dan kejujuran. akhirnya ... kulakukan jua, kucoba semaksimal mungkin menutupi kebohongan itu dengan menatapi mata dan bola hitammu. sehingga kuharapkan satu jawab darimu, bahwa kau percaya padaku.

kau begitu bahagia menceritakan keadaanmu, namun kebohongan yg kututup erat dengan adrenalin dan denyutan nadiku hampir memporak porandakan gumpalan jiwa dan hatiku. aku hampir jatuh dan mampus dalam perang dengan darahku sendiri. kucoba memberi kesan bahwa aku juga ikut bahagia, dan tiada sedikitpun kekecewaan menyapaku. kuharap kau benar2 tak tau itu [bahwa aku terluka, bahwa aku hampir mampus kau buat, bahwa aku ... tenggelam dalam bayangan semu, yg takkan pernah engkau tau].

segera kurebahkan punggungku di dada kasur yg sudah tak empuk lagi, kucoba membayangkan apa yg terjadi dalam setiap aliran darahku saat itu, kulayangkan jiwaku ke angkasa, ku tatap tajam genting2 warna coklat tua, ku tersenyum memaksa. begitu kau pergi dariku, ku terima segudang gumpalan penyakit yg tak bisa terobati, hanya satu tatapan mata mengarah padaku, memberi makna bahwa si pemilik mata itu tahu ... dan mengerti apa yg sedang menari dalam otakku. orang itu mencoba menghiburku, namun dengan sejuta kebisuan ia tak menanyakan sedikitpun tentang perasaanku, ia hanya mencoba tuk menghilangkan sakitku, memberi senyum menawan, dan mengajakku keluar, mengajakku jalan dan akhirnya ke gedung badminton, tuk menghilangkan stres yang sedang menggerogoti jiwaku. seolah2 dia benar2 tau bahwa aku sedang sakit, aku sedang terluka, aku sedang sangat menderita, namun ia juga tau bahwa aku tak mungkin menjawab apapun tanyanya, aku tak mungkin menggubris apapun yg ia katakan tentangku. dia benar2 tahu bahwa aku membutuhkan setetes embun penyejukku yang dalam hitungan menit telah berhenti menetes dan membeku dalam jiwa yg susah tuk dianalisa. sepulang dari gedung itu, dalam perjalanan pulang, aku hanya diam di belakangnya, ia pun menyembunyikan sejuta bahasa yg biasanya ia lantunkan di depanku sambil terus melaju mengantarkanku ke rumah tercinta. dalam sepenggal episode itu kututup dengan tutupan mata di atas kasur, dan tanpa sadar ku bangun jam 4.49 pagi tadi.

hari ini ... kucoba melupakan penggalan episode itu, kucoba menatap kembali ke masa depan yg masih menanti, kucoba mendapatkan sesuatu dari hari ini. sekarang ... saat aku ngeblog ... saat aku ceritakan kisah ini ... tak ada yg tau tentangku ... bahwa sakit itu masih ada ... meski hanya secuil, namun menyisakan akibat yg sangat dahsyat. kenapa aku sekarang selalu ingin menghindari orang2 seperti itu? kenapa sekarang aku males ketemu dan ngobrol sama orang2 spt itu? kenapa? i wanna be a stronger one, i wanna be a better one, i wanna get how to do this.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home